Background

Background

Silahkan klik beberapa gambar di bawah ini

  • image1
  • image2
  • image3
  • image4
  • image2
  • image1
  • image4
  • image3
Inilah bagian terakhir dari ceritaku.
Setelah rumah tua itu selesai dibangun, tak ada yang berusaha masuk selama puluhan tahun. Namun seperti saat aku dulu, anak-anak muda dari generasi orang tuaku juga sangat penasaran dengan isi rumah itu. Namun mereka sangat dilarang untuk membicarakannya, apalagi masuk ke sana.
Kalian mungkin ingat ceritaku tentang keluarga Atsushi. Ibu dan neneknya berasal dari kota ini, namun ibunya pindah ke prefektur lain setelah menikah.
Itu adalah sebuah kebohongan.
Ketika mereka masih kecil, empat anak – ibu Atsushi yang bernama Izumi, orang tua Kazuchika, dan seorang anak lain yang bernama Eiji – pergi ke rumah itu. Mereka pergi saat tengah malam bahkan membawa tangga untuk masuk ke dalam rumah melalui jendela lantai dua.
Tak ada yang mereka temukan di kamar pertama dan mereka melanjutkan ke kamar kedua. Di sana mereka melihat meja rias dan rambut di tengah ruangan. Mereka semua sangat ketakutan, namun Izumi sangatlah pemberani. Ia bahkan membuka laci pertama dan kedua untuk melihat isinya. Untunglah, sebelum ia membuka laci ketiga, teman-temannya yang lain berhasil menghentikannya dan mengajaknya pergi dari tempat itu.
Namun itu tak menghentikan masalah lain muncul.
Ketika mereka turun melalui tangga di dalam rumah, mereka menemukan meja rias lain. Tiga anak yang lain kembali ketakutan dan memohon agar mereka pulang saja, namun Izumi menolak.
Seperti adik Saori, Izumi mulai membuka laci-laci tersebut.
Ia membuka laci pertama dan menemukan kertas dengan beberapa serpihan kuku manusia.
Yang lain berpikir bahwa keadaan mulai bertambah menakutkan dan memaksanya pulang. Namun Izumi sama sekali tak mengindahkan mereka.
Ketiga temannya mulai bersikeras agar Izumi menghentikan perbuatannya dan menarik tubuh Izumi. Dalam pergumulan itu, mereka tak sengaja menyenggol tiang itu sehingga rambut di atasnya terjatuh.
Rambut itu adalah hal paling menakutkan di rumah itu. Bahkan Izumi tak berani untuk menyentuhnya. Mereka berempat kemudian meninggalkan rambut itu di lantai dan bergegas pulang.
Setelah dua-tiga hari, mereka mulai bertanya-tanya akankah orang tua mereka mengetahui apa yang mereka lakukan malam itu. Merekapun sepakat untuk mengembalikan rambut itu ke posisi semula untuk menghilangkan jejak mereka.
Orang tua Kazuchika tak dapat pergi karena suatu alasan, sehingga hanya tersisa Eiji dan Izumi.
Untuk kedua kalinya mereka masuk ke rumah itu pada malam hari dan menggunakan tangga untuk masuk ke jendela kamar lantai dua. Mereka juga membawa sepasang sumpit untuk mengambil rambut itu dari lantai dan akhirnya berhasil mengembalikannya ke tempat semula.
Setelah selesai, Eiji segera memaksa Izumi agar pulang. Namun entah mungkin karena didorong rasa usilnya, Izumi malah membuka laci yang kedua.
Di dalamnya mereka menemukan kertas dengan gigi manusia.
Eiji sangat ketakutan bahkan menangis melihatnya. Izumi menganggap reaksi Eiji sangat lucu dan berniat mengerjainya lebih jauh. Ia membuka laci ketiga dan mendorong kepala Eiji agar ia melihat isi laci tersebut.
Eiji menyaksikan apa yang ada di dalam laci itu dan ekspresinya berubah menjadi kaku.
“Apa isi laci itu?” saat Izumi hendak melihatnya, tiba-tiba laci itu menutup dengan sendirinya. Ia lalu menatap Eiji yang kini hanya terdiam terpaku seperti patung. Tatapannya kosong dan ia tak bergerak sedikitpun.
Izumi mulai merasa takut dan karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia memutuskan meninggalkan Eiji di sana. Segera setelah ia pulang, Izumi memberitahukan apa yang terjadi ibunya.
Wajah ibu Izumi menjadi sangat pucat dan hal yang lebih aneh kemudian terjadi.
Ibu Izumi memberitahu orang tua Eiji dan mereka segera menjemput Eiji dan mengeluarkannya dari rumah itu. Setelah setengah jam, mereka akhirnya kembali bersama Eiji. Terlihat mulut Eiji dipenuhi sesuatu berwarna hitam dan mereka melihat beberapa helai rambut bergantung dari sudut mulut Eiji.
Rambut itu bukan miliknya.
Orang tua Eiji tak mengatakan sepatah katapun. Yang mereka lakukan hanya menatap Izumi dengan raut penuh kebencian.
Orang tua Eiji kemudian membawanya pergi jauh. Namun sebelum mereka melakukannya, mereka terus-menerus mengunjungi rumah Izumi setiap hari. Mungkin Izumi sendiri tak tahan dengan kunjungan-kunjungan itu sehingga ibunya pun mengirimnya untuk pergi jauh.
Itulah cerita mengenai Pandora, nama yang tak boleh disebutkan itu.
Tak ada yang tahu tentang isi laci ketiga itu sebab siapapun yang melihatnya akan bernasib sama seperti Saori dan Eiji, namun ada desas-desus mengenai isi laci ketiga itu. Mungkin informasi ini diperoleh dari orang tua Yachiyo, yang entah kenapa, mampu menangkal kutukan itu.
Laci ketiga itu berisi potongan tangan.
Di laci meja rias Yoshiko di lantai dua terdapat tangan kiri dan di meja rias milik Yachiyo di depan tangga terdapat tangan kanan.
Bahkan ada yang menyebut, potongan tangan itu bergerak dan itulah yang membuat siapapun yang melihatnya menjadi gila.
Apakah tangan-tangan itu milik Yachiyo yang ditinggalkannya untuk melindungi nama-nama itu agar tak seorangpun mengetahuinya, aku tak tahu. Mungkin memang sebaiknya cerita ini berselimutkan misteri.
Rumah itu masih ada di wilayah timur Jepang, namun aku takkan memberitahukan lokasinya pada kalian.
Dan tentang isi surat dari ibu Saori aku sepertinya bisa menebak isinya, sebab kemudian aku mendengar kabar bahwa Saori dan ibunya meninggal. Aku takkan menceritakan lebih dari itu.
Akhir kata, aku harus meminta maaf pada kalian.
Selama ini aku menyembunyikan suatu fakta penting pada kalian.
Namun kalian harus mengerti bahwa aku terpaksa melakukannya. Sebab jika aku mengungkapkannya sejak awal, maka kalian akan menyalahkanku atas semua yang terjadi pada Saori.
Aku menceritakan ada 6 orang yang datang ke rumah itu, yakni aku, Atsushi, Kazuchika, Naoki, Saori, dan adiknya Haruka.
Namun kenyataannya hanya ada 5.
Akulah Atsushi. Dan aku tak bisa mengungkapkan betapa aku menyesali apa yang terjadi pada temanku, Saori.



TAMAT


Sekarang aku akan menjelaskan alasan mengapa kisah itu penting.
Pada kenyataannya, tradisi mengerikan itu tak bertahan lama. Orang-orang lama-lama meragukan tradisi tersebut hingga akhirnya kepercayaan itupun luntur. Akhirnya hubungan antara ibu dan anak berjalan seperti biasa seperti sekarang ini. Tradisi itupun akhirnya dilupakan.
Namun tetap ada dua kebiasaan yang masih bertahan hingga kini, yaitu kebiasaan memberikan “nama sesungguhnya” pada anak perempuan dan kebiasaan mewariskan meja rias untuk putrinya.
Suatu saat, seorang wanita bernama Yachiyo yang dibesarkan dengan cara ini, menikah dan memiliki keluarga normal. Seperti yang dilakukan ibunya kepadanya, Yachiyo memberikan nama tersembunyi pada putrinya, Yoshiko dan menyiapkan sebuah meja rias untuknya.
Keluarga itu hidup dengan damai, hingga Yoshiyo berumur sepuluh. Dan terjadilah peristiwa itu.
Suatu hari Yachiyo pergi mengunjungi orang tuanya, meninggalkan Yoshiko di rumah bersama suaminya. Ia pulang larut malam dan ketika ia tiba di rumah, ia menemukan sesuatu yang sangat mengerikan.
Yoshiko telah tewas. Kuku-kuku dan giginya telah tercabut. Darah berceceran dimana-mana.
Yachiyo mencari ke seluruh rumah dan menemukan serpihan kertas bertuliskan nama tersembunyi Yoshiyo di lantai. Kuku dan gigi Yoshiyo berserakan di meja rias putrinya.
Suaminya tak ada dimanapun.
Yachiyo hanya bisa menangis sambil memeluk jenazah putrinya. Tetangga yang mendengar tangisan Yachiyo datang dan berusaha membantunya. Ada yang berinisiatif menghubungi orang tua Yachiyo, sementara ada pula yang berusaha mencari suaminya.
Namun tak ada yang menemani Yachiyo.
Malam itu, Yachiyo memutuskan untuk bunuh diri di samping jenazah anaknya. Ia menyayat kedua pergelangan tangannya dengan pisau.
Ketika orang tua Yachiyo mendengar kabar kematian cucu mereka, reaksinya mereka sungguh dingin.
“Aku pikir aku tahu apa yang terjadi,” kata ibu Yachiyo, “Yoshiko pasti mendengar tentang ritual itu dari Yachiyo dan memutuskan untuk mencobanya sendiri. Yachiyo pasti tak menceritakannya dengan lengkap sehingga ia hanya menangkap bagian-bagian tertentu saja. Kemudian, ia menunggu hingga berumur 10 tahun untuk melakukannya.”
Ketika orang tua Yachiyo datang ke rumah malam itu, mereka menemukan Yachiyo juga telah tewas. Para tetangga merasa shock.
Orang tuanya segera memerintahkan, “Tak ada yang boleh masuk ke dalam rumah sebelum kami pergi.” Setelah berkata seperti itu, merekapun masuk.
Setelah berada di dalam selama beberapa jam, mereka akhirnya keluar. “Kami akan mengadakan upacara pemakaman. Kalian tak perlu mencari suaminya. Kalian akan mengerti segera.” mereka lalu memaksa para tetangga untuk pulang kembali ke rumah mereka.
Suaminya tetap menghilang selama beberapa hari. Namun suatu hari, ia ditemukan tewas di depan rumah mereka. Ketika ia ditemukan, segumpal rambut hitam yang panjang ditemukan tersumpal di mulutnya.
Para tetangga Yachiyo menanyakan pada orang tua Yachiyo mengapa ini terjadi.
“Siapapun yang masuk ke dalam rumah Yachiyo akan berakhir seperti ini,” ibunya berkata, “Rumah ini telah dikutuk. Siapapun, tolong jangan pernah masuk ke dalam rumah ini lagi!”
Sejak itu rumah tersebut menjadi semacam kuil untuk mengenang Yachiyo dan Yoshiko dan dibiarkan apa adanya. Selama bertahun-tahun, masyarakat mengikuti larangan orang tua Yachiyo untuk tidak memasukinya dan rumah itupun tak pernah tersentuh lagi.
Hingga akhirnya, rumah itu dirubuhkan karena mulai meresahkan. Namun di dalamnya mereka menemukan benda itu. Benda yang sama seperti yang kami lihat.
Meja rias dan rambut.
Mengetahui bahwa benda-benda itu mengandung kutukan, warga pun berinisiatif memindahkannya. Mereka membangun sebuah rumah baru yang sama persis dengan rumah Yachiyo di luar kota, di tempat yang jarang dikunjungi. Mereka meletakkan meja rias dan rambut itu di dalamnya dan mereka sengaja membuat dinding di pintu rumah itu. Tentu agar tak ada seorangpun yang masuk dan terkena kutukannya.
Hanya itulah penjelasan mengenai apa yang kami lihat. Dua meja rias dan rambut itu masing-masing milik Yachiyo dan Yoshiko.
Namun cerita ini tak berakhir sampai di sini.


TO BE CONTINUED


Di keluarga tertentu di Jepang, seorang ibu akan meneruskan tiga tradisi kepada putri mereka. Biarkan kujelaskan mengenai tradisi-tradisi itu.
Pertama, anak perempuan adalah milik ibu mereka dan akan diperlakukan seperti itu. Jika seorang wanita melahirkan dua atau tiga anak perempuan, ia akan memilih salah satunya untuk menjadi “miliknya”. Putri yang terpilih ini akan diberikan dua nama, salah satunya adalah nama aslinya. Nama asli itu tak diketahui oleh siapapun, kecuali ibunya.
Nama tersebut juga akan memiliki cara pengucapan yang berbeda dengan huruf kanjinya, sehingga bila orang lain menemukannya dan membacanya, orang tersebut takkan tahu cara mengucapkan nama aslinya. Bahkan jika ibu itu sedang sedang berdua saja dengan putrinya, nama itu tetap takkan digunakan.
Nama itu digunakan untuk memperat ikatan antara ibu dan putrinya dan membuktikan bahwa anak tersebut adalah “milik” ibunya.
Sebagai tambahan, pada hari ibu itu memberi nama anak perempuannya, ia harus mempersiapkan sebuah meja rias. Putrinya tersebut tak diizinkan melihat meja rias tersebut kecuali pada hari ulang tahunnya yang ke-10, ke-13, dan ke-16.
Kedua, untuk meningkatkan nilai “barang miliknya” tersebut, ibu tersebut akan memaksakan “didikan” tersendiri kepada anaknya tersebut sejak usia dini (anak perempuan lain yang tak dipilihnya akan dididik secara biasa). Contohnya, ibu tersebut akan memaksa putrinya untuk:
Menyayat wajah kucing atau anjing
Menyimpan patung tanpa kepala sebagai “peliharaannya” (bahkan keluarga dan orang-orang lain yang ada di sekitar anak perempuan tersebut akan berpura-pura seolah patung tanpa kepala itu hidup untuk mengelabui gadis itu agar percaya bahwa mainannya benar-benar hidup).
Memisahkan bagian-bagian tubuh laba-laba dan kemudian menyatukannya kembali seusai bentuk semula.
Memakan kotorannya sendiri dan meminum air kencing (baik miliknya sendiri maupun milik orang lain)
Ini hanya sebagian kecil sebab aku tak sanggup untuk menulis keseluruhannya. Percaya saja kepadaku bahwa mendengar cerita selengkapnya akan membuat perutmu mual.
Namun ini belumlah seberapa. “Didikan-didikan” ini akan berjalan hingga anak itu berumur 13 tahun. Kemudian ibu tersebut akan melakukan tiga ritual upacara. Inilah tradisi yang ketiga.
Upacara pertama dilakukan saat anak itu berumur 10 tahun. Sang ibu akan mendudukkan anaknya di depan sebuah meja rias dan memerintahkan anaknya memberikan kukunya sebagai persembahan.
Inilah pertama kalinya anak tersebut menyadari keberadaan meja rias tersebut.
Dan tentu saja, persembahan itu dilakukan dengan cara mencabut kuku itu secara keseluruhan.
Anak tersebut akan mencabut kukunya sendiri dan memberikannya kepada ibunya. Ibunya kemudian akan menaruh kuku tersebut di dalam sebuah kertas bertuliskan nama rahasia putrinya di laci teratas meja rias tersebut.
Setelah itu, sang ibu akan duduk seharian di depan meja rias itu untuk mengakhiri upacara tersebut.
Upacara kedua dilakukan saat sang anak perempuan berumur 13 tahun. Seperti upacara pertama, anak tersebut harus memberikan persembahan. Kali ini yang harus ia persembahkan adalah giginya.
Ia harus mencabut giginya sendiri dan kemudian ibunya akan menaruhnya ke dalam laci kedua berserta kertas bertuliskan nama rahasia sang anak. Sekali lagi, sang ibu akan mengakhiri upacara dengan duduk di depan meja rias tersebut hingga hari berakhir.
Tiga tahun kemudian, ketika anak itu berumur 16 tahun, upacara terakhir pun dilakukan.
Dalam upacara terakhir, sang ibu akan memakan rambut anaknya sendiri di depan meja rias. Harus dipastikan bahwa sang ibu harus mencerna rambut itu agar menjadi satu dengan dirinya.
Rambut anak perempuannya itu harus dicukur sampai habis dan ibunya akan menatap ke dalam cermin di meja rias, memakannya seolah-olah ia dalam keadaan kesurupan. Apa yang anak perempuannya hanya bisa lakukan hanyalah menatapnya.
Akhirnya saat ibu tersebut selesai memakan rambut, pada saat itu ia akan mengatakan nama asli anak gadisnya itu.
Saat itu akan menjadi pertama sekaligus terakhir kalinya ia mendengar namanya yang sesungguhnya.
Namun kenyataan yang menunggu setelah upacara itu selesai sangatlah mengerikan. Mulai hari itu, sang ibu bukanlah manusia lagi, melainkan sebuah “cangkang” kosong. Ia akan terus mengunyah rambut anaknya siang dan malam, seolah-olah jiwa dan kesadarannya tak ada lagi. Ia harus dibawa ke suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang tahu. Ia juga harus hidup dalam isolasi seumur hidupnya, tak boleh bertemu dan berhubungan dengan siapapun. Semua upacara ini bertujuan menyiapkan ibu tersebut ke tempatnya, yakni “surga” dalam keadaan murni dan suci.
Bagaimana dengan anak perempuannya? Ia akan dibawa untuk diasuh oleh bibinya. Oleh sebab itu, keluarga pada zaman itu memilih untuk memiliki lebih dari satu anak perempuan. Ia akan diasuh oleh bibinya itu sementara ibunya dipercaya “menghilang ke surga”.
Sang anak kemudian akan tumbuh dewasa, menemukan lelaki yang cocok dengan dirinya, menikah, dan memiliki anak. Kemudian siklus ini akan diulang terhadap putrinya sendiri.
Hanya itu yang berhasil kuperoleh tentang keluarga-keluarga ini. Ada banyak detail sebenarnya, namun terlalu panjang jika kujelaskan di sini. Aku tahu banyak yang tak mengerti, akupun juga. Namun ini adalah kunci untuk memahami apa yang berada di dalam rumah itu dan apa yang terjadi pada Saori.

TO BE CONTINUED


Haruka masih terisak dan aku serta yang lainnya juga tak tahu harus berbuat apa. Sekujur tubuh kami dibasahi keringat dingin karena ketakutan. Di lorong pintu masuk rumahku, Saori masih berdiri dengan tatapan kosong sambil mengunyah rambutnya.
“Ibu! Ibu!” panggilku. Ibuku keluar dan dengan mata membelalak menatap Saori. Aku mencoba menjelaskan kepadanya, namun dengan segera ia menampar wajahku dan ketiga anak lainnya. Ia menjerit ke arah kami semua.
“Kalian pergi ke sana kan? Kalian pergi ke rumah terlarang itu!”
Yang dapat kami lakukan hanya mengangguk. Kami tak mampu mengatakan apapun untuk membela diri kami.
“Masuk ke dalam, kalian semua! Aku akan memanggil orang tua kalian!” ibuku kemudian membawa Saori ke atas.
Aku melakukan perintah ibuku dan diam di ruang tamu. Aku bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi. kami hanya duduk di sana selama sejam hingga akhirnya semua orang tua kami datang.
Ketika orang tua kami datang, ibuku segera turun dari lantai atas.
“Mereka pergi ke rumah itu!” pekiknya.
Para orang tua tampak marah dan kecewa hingga berteriak kepada kami.
“Apa?! Apa yang kalian lihat di sana?”
Kami semua terkejut dengan semua bentakan itu dan tak mampu menjawabnya. Namun, Atsushi dan Kazuchika berhasil menjelaskannya kepada mereka.
“Kami melihat sebuah meja rias dan rambut yang aneh... aku juga memecahkan kaca depan...”
“Lalu....apa lagi yang kalian lihat?”
“Selain itu...kami meihat beberapa kertas dengan dua huruf tertulis di atasnya ...”
Kamar itu menjadi sunyi seketika, namun pada saat yang sama terdengar jeritan dari lantai atas.
Ibuku langsung berlari ke atas dan kemudian turun kembali. Ia memegang pundak ibu Saori. Pipinya basah dengan air mata.
“Saori...apa dia melihat ke dalam laci?” ibu Saori datang mendekati kami penuh rasa cemas.
“Apa kalian membuka laci ketiga dan melihat isinya?” ia mengulang pertanyaannya.
“Laci ketiga di meja rias di lantai atas. Apa kalian melihat ke dalamnya?” orang-orang tua lain mulai bertanya.
“Laci pertama dan kedua kami melihat isinya....tapi yang ketiga, hanya Saori yang melihat...”
Setelah aku mengatakannya, ibu Saori mencengkeram tanganku dan menjerit, “Kenapa kalian tak menghentikannya? Dia teman kalian! Mengapa kalian tak menghentikannya? Mengapa?”
Ayah Saori dan orang-orang tua lainnya berusaha menenangkannya.
“Tenanglah!”
“Kumohon, sayang! Tenangkan dirimu!”
Mereka berhasil menariknya, namun ia masih tampak histeris. Para orang tua mulai menenangkan diri mereka dan mulai bercerita.
“Tak ada yang pernah tinggal di rumah yang kalian datangi itu. Rumah itu dibangun khusus untuk meja rias dan rambut itu. Semacam kuil. Bangunan itu sudah ada sejak kami kecil.”
“Rambut itu rambut manusia asli,” ayah Kazuchika berkata, “Kalian melihat kertas yang ada di dalam laci itu kan? Apakah ini yang tertulis di sana?”
Ia mengambil sebuah kertas dan menuliskan sesuatu di sana.
“Ya benar! Tulisan itu yang kami lihat.”
Ayah Kazuchika lalu segera meremas-remas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia melanjutkan ceritanya.
“Kata itu sebenarnya adalah sebuah nama; nama dari perempuan yang rambutnya kalian lihat di sana. Nama itu memang tak biasa...” ia berhenti beberapa saat sebelum kembali bercerita, “Semua yang perlu kalian tahu adalah: kalian tak boleh, dengan alasan apapun, membicarakan tentang rumah itu lagi! Kalian tidak boleh berada dekat-dekat dengan rumah itu! Mengerti!”
Wajah ayah Kazuchika tampak serius saat itu dan kamipun mengangguk patuh.
“Sekarang sudah malam. Orang tua kalian akan membawa kalian pulang sekarang. Kalian pasti lelah.”
Tiba-tiba Kazuchika berdiri, “Bagaimana dengan Saori? Apa ia akan baik-baik saja?”
“Lupakan tentang dia.” jawab ayah Kazuchika dengan dingin, “Ia takkan pernah menjadi Saori yang kalian kenal dulu.” ia lalu menatap kami dengan sorot mata penuh kesedihan. “Ibunya akan terus menyalahkan kalian atas apa yang terjadi dengan putrinya. Ia takkan membiarkan kalian melihat Saori lagi.”
Sejak saat itu, hidup kembali berjalan normal, kecuali satu hal. Kami tak pernah melihat Saori lagi. Guru kami mengatakan keluarganya sudah pindah ke tempat lain.
Kamipun tak pernah membicarakan hal itu lagi. Sepertinya kabar bahwa kami mendobrak masuk ke rumah itu telah menyebar sehingga larangan-pun semakin ketat. Bahkan anak-anak pun sekarang sudah tak berani membicarakan rumah itu di belakang orang tua mereka. Kaca yang dipecahkan Atsushi pun sekarang ditutup dengan papan kayu sehingga tak seorangpun dapat mengintip ke dalam.
Kamipun menyelesaikan sekolah kami dan waktu serasa berjalan sangat cepat. Kami berempat yang semula bersahabat baik semakin menjauh ketika kami kuliah di kota-kota yang berbeda. Satu hal terjadi ketika aku lulus dari kuliah dan pulang ke rumah. Aku melihat ibuku membaca surat dari ibu Saori. Ketika aku bertanya dimana Saori, ibu menolak untuk menjawab. Ibuku juga menolak untuk menceritakan si surat itu kepadaku. Namun apa yang ia katakan masih menghantuiku sampai kini.
“Ia memilih untuk melakukan ini kepada Saori karena ia adalah ibunya. Jika kau ada di posisinya, kau pasti juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun kau tahu itu adalah pilihan yang salah.”
Aku diam-diam menyelidikinya, tentang meja rias dan rambut itu. Akupun menemukan kenyataan yang mengerikan.

TO BE CONTINUED


Kami semua berada di ruang tamu dimana kami masuk tadi, jadi ia tak mungkin keluar. Kami mencoba mencarinya di ruang tamu dan dapur, namun kami tetap tak menemukannya.
“Haruka!” panggil Saori penuh keputusasaan, “Haruka! Dimana kamu! Jawab kakak!”
Namun tak ada jawaban.
“Hei, apa kalian pikir dia naik ke atas?” kami semua menatap ke arah tangga itu.
“Tidak mungkin! Mengapa ia melakukan itu?” jerit Saori. Air matanya mulai mengalir.
“Tenanglah! Ayo kita naik ke atas dan mencarinya!”
Tak ada waktu untuk memikirkan betapa takutnya kami. Kami berjalan melewati tiang menakutkan itu dan mulai berjalan menaiki tangga.
“Haruka-chan!” panggil kami.
“Haruka, ini tidak lucu!” seru Saori, “Keluarlah sekarang!”
Namun tetap tak ada jawaban.
Ketika kami sampai di atas, kami melihat dua kamar. Pintu masing-masing kamar tertutup. Kami menduga kedua kamar tersebut adalah kamar tidur.
Kami membuka pintu di sebelah kanan kami. Namun tak ada apapun di dalamnya. Kamipun menutupnya dan beranjak ke kamar kedua.
“Ia pasti ada di kamar ini!” kamipun membuka pintu itu secara perlahan.
Haruka ada di sana.
Namun tak ada satupun di antara kami yang berani berkata sepatah katapun. Kami semua membeku.
Di tengah ruangan itu terdapat benda yang sama seperti yang ada di tangga.
Sebuah meja rias dan sebuah tiang dengan rambut manusia di atasnya. Namun tiang itu tampak lebih pendek, sama tingginya dengan Haruka yang masih SD. Kami semua sangat ketakutan dan tak berani bergerak sedikitpun.
“Kak, apa ini?” Haruka menunjuk tiang itu dan menoleh kepada kami.
Ia berjalan mendekati meja rias itu. Ada tiga laci di sana dan ia membuka laci teratas.
“Apa ini?”
Ia menarik sesuatu keluar dari dalam laci. Sebuah memo dengan dua buah huruf tertulis di atasnya.
禁后 - The Forbidden Empress.
“Kak, ini bacanya apa?” namun sebelum kami menjawabnya, ia sudah menarik laci yang kedua.
Ia mengambil benda yang sama persis seperti yang ia temukan di laci pertama. Sebuah kertas bertuliskan huruf kanji yang sama.
Kami semua tak mengerti apa yang terjadi, namun Saori segera menghampiri adiknya dan mencengkeram tangannya dengan keras. Haruka sampai menangis dibuatnya.
“Apa yang kamu lakukan?” ia berteriak di depan muka Haruka. Dengan marah ia segera merebut kertas itu dari tangan gadis cilik itu dan membuka laci untuk mengembalikan kertas itu.
Masalahnya adalah, Haruka mengambilnya dari laci kedua, sedangkan laci yang ditarik oleh Saori adalah laci ketiga.
Ketika laci itu terbuka, Saori hanya berdiri tak bergeming sambil menatap apa yang ada di dalamnya. Ia tak bersuara sedikitpun.
Ia hanya diam, seperti terhipnotis. Ia menutup laci itu kemudian menatap ke depan. Pandangannya tampak kosong. Ia lalu menarik rambutnya yang tumbuh melebihi bahunya lalu meletakkannya di mulutnya.
Ia mulai mengunyah rambutnya sendiri.
“Hei, apa yang terjadi denganmu?” Kami bertanya.
“Saori! Saori, sadarlah!”
Kami semua memohon agar ia berhenti melakukannya, namun ia sepertinya sama sekali tak mempedulikan kami. Pandangannya masih kosong dan ia masih mengunyah rambutnya.
Tangis Haruka makin kencang, mungkin karena menyaksikan kakaknya bertingkah aneh. Kami semua bertambah gugup.
“Apa...apa yang terjadi dengannya?”
“Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi!”
“Pikirkan itu nanti! Sekarang kita harus membawanya pulang! Aku sudah tak mau lagi berada di sini.”
Naoki, Kazuchika, dan Atsushi segera membawa Saori keluar dari rumah itu, sementara aku menjaga Haruka yang masih menangis. Bahkan setelah keluar dari rumah itu, Saori masih tetap mengunyah rambutnya.
Kami tahu kami akan terlibat masalah, namun kami harus segera membawanya ke orang dewasa yang mengerti tentang sejarah rumah itu. Kami mengurungkan niat kami membawanya pulang dan memutuskan membawanya ke rumahku yang terletak paling dekat dengan rumah tua itu.
Saat itu aku belum tahu itu adalah saat terakhirku melihat Saori.

TO BE CONTINUED


Ketika hari Minggu akhirnya tiba, kami sangat bersemangat dengan apa yang akan kami lakukan ini, sebab kami sudah merencanakannya sangat lama. Kami berkumpul di depan rumah tua itu dan membawa tas ransel penuh makanan. Aku ingat saat itu kami sangat gembira karena akan “berpetualang”.
Seperti sudah kusebutkan sebelumnya, rumah ini dikelilingi dengan persawahan dan tidak memiliki pintu masuk. Rumah itu berlantai dua dan satu-satunya cara untuk masuk ke sana adalah dengan memecahkan jendela di lantai satu.
“Ah, jendela ini takkan terlalu mahal untuk diperbaiki.” kata Atsushi saat ia memecahkan kaca itu dengan batu. Ia kemudian masuk ke dalam rumah itu.
Bahkan jika tak ada yang terjadi di rumah ini, kami sudah tahu bahwa kami sudah berada dalam masalah yang sangat besar. Namun kami tetap saja mengikutinya masuk ke ruang tamu.
Di kiri kami terdapat dapur dan di depannya terdapat lorong yang menghubungkannya ke kamar mandi. Sebuah tangga menghubungkan lantai satu dengan lantai atas terletak di sebelah kanan kami. Kami melihat sisa-sisa apa yang kemungkinan pintu depan rumah ini.
Jadi rumah ini sebenarnya memiliki pintu. Namun mengapa mereka menutupnya?
Siang itu sebenarnya sangat cerah, namun karena tak ada pintu dan jendelapun sangat kusam, maka di ruang tamu tempat dimana kami berdiri sekarang terlihat cukup gelap.
Bila dibandingkan dengan bagian luar rumah yang sangat suram, bagian dalamnya sebenarnya lebih bagus daripada yang kamu sangka. Bahkan rumah ini sebenarnya bisa ditinggali, jika saja ada yang mau membersihkannya. Ruang tamu dan dapurnya sangat luas. Furniturnya juga masih lengkap, walaupun tentu tampak berdebu dan rusak. Tak ada tanda-tanda seseorang tinggal di sini selama bertahun-tahun.
Aneh, mengapa mereka meninggalkan rumah ini begitu saja? Apa pemiliknya meninggal?
“Tak ada apapun di sini.” Kami mulai kecewa karena tak menemukan apapun setelah menjelajahi ruang tamu, dapur, hingga kamar mandi. Beberapa dari kami mulai bosan dan membuka snack yang kami bawa lalu memakannya.
“Mungkin rahasianya terletak di lantai dua!” Saori mengenggam tangan adik perempuannya dan mulai berjalan menuju ke tangga.
Namun langkah mereka terhenti di depan tangga. Wajah mereka tampak ketakutan.
“Ada apa?”
Aku dan teman-temanku yang lain mengikutinya. Di depan tangga terdapat sebuah meja rias. Dan tepat di depan meja tersebut terletak sebuah tiang aneh dengan sesuatu di atasnya.
Rambut.
Melihatnya merupakan sebuah pengalaman yang aneh, sebab kami seperti melihat bagian belakang seoorang wanita dengan rambut terurai. Bahkan tinggi tiang itu kira-kira sama seperti tinggi wanita dewasa.
Sangat aneh dan segera kami mulai merasa bulu kuduk kami berdiri.
“Apa itu? Ya Tuhan, apa itu?” pekik Saori.
“Apa...apa itu rambut asli?” tanya Atsushi.
“Tak tahu, apa kau mau menyentuhnya?” jawab Kazuchika.
“Kau tak tahu apa itu, jadi biarkan saja!” pekikku, “Benda itu membuatku takut. Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini. Benar-benar salah!”
“Ya, jangan sentuh benda itu!”
Kami semua takut dengan benda itu dan akhirnya kembali mundur ke ruang tamu. Kami tak bisa lagi melihatnya dari balik dinding ruang tamu. Namun melihat ke arah tangga dan membayangkan saja benda itu ada di situ sudah membuatku merasa takut.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita tak bisa naik jika tidak melalui tangga itu.”
“Aku takkan pergi ke sana.” Kata Saori dengan tegas, “Benda itu membuatku jijik.”
“Ya, perasaanku tak enak tentang ini semua.” Kata Naoki.
Semua rasa senang kami luntur setelah melihat benda itu. Kami sadar petualangan kami telah berakhir. Sekarang tak ada hal lain yang kami inginkan selain segera keluar dari tempat itu dan pulang.
Namun tiba-tiba kami menyadari sesuatu.
“Saori,” tanyaku, “Dimana adikmu?”
“Hah? Dia tadi ada di sini.” Saori menoleh namun tak menemukannya.
Haruka, adik Saori, menghilang.

TO BE CONTINUED


Aku akan menceritakan kepadamu mengenai 禁后, sebuah kisah yang diceritakan secara turun-menurun di kotaku. Huruf kanji tersebut jika diterjemahkan secara kasar akan menjadi “Forbidden Empress” atau “Permaisuri Terlarang”. Namun kami menyebutnya “Pandora”.
Aku tumbuh besar di sebuah kota kecil yang tenang dan damai. Tempat itu agak terpencil dan membosankan karena tidak ada tempat “nongkrong”, namun ada suatu tempat yang selalu menarik perhatian anak muda di sana. Di luar desa kami, di tengah sawah-sawah yang luas, berdiri sebuah rumah tua. Bahkan di kotaku yang masih banyak terdapat bangunan tua, rumah tesebut masih tampak sangat antik. Kondisinya cukup buruk karena telah lama terbengkalai dan nampaknya sudah tak ada lagi yang menempatinya sejak lama.
Namun rumah itu bukanlah rumah tua biasa.
Anehnya, entah mengapa, orang tua kami dan orang-orang dewasa lainnya di kota ini sangat membenci tempat itu. Kami dilarang untuk membicarakannya, bahkan kadang kala kami bisa ditampar oleh orang tua kami bila kami mengungkit-ungkit tentang rumah tua itu. Bahkan orang tuaku juga sama.
Ada alasan lain mengapa kami menganggap rumah tua itu sangat aneh. Tak ada pintu masuk di rumah tersebut.
Tentu saja ada jendela, namun jika benar-benar ada orang yang dahulu tinggal di sana, bagaimana mereka masuk? Apa mereka merangkak masuk melalui jendela? Tampaknya tak masuk akal.
Warga kota kami menyebutnya “Pandora”.
Misteri ini tentunya menarik perhatian anak-anak muda sepertiku dan juga teman-temanku. kami ingin tahu, ada apa sebenarnya dibalik kemisteriusan rumah itu. Kami tentu ingin masuk ke sana dan mencari tahu,apalagi rumah itu sebenarnya cukup mudah untuk dimasuki. Rumah itu terletak di tempat yang sangat terpencil sehingga kecil kemungkinan ada yang akan memergoki kami. Namun kami tak berani. Orang tua kami saja sangat marah saat kami membicarakan rumah itu, apalagi jika mereka tahu kami diam-diam masuk ke sana.
Beberapa bulan setelah aku masuk SMP, seorang anak memutuskan bahwa apapun yang terjadi, ia akan masuk ke rumah itu. Namanya adalah Atsushi.
Ibu Atsushi, Izumi, berasal dari kota ini. Namun ia menikah dengan pria dari prefektur lain dan pindah ke sana bersama suaminya. Mereka akhirnya bercerai dan ibunya kembali dan membawa Atsushi ke kota ini.
Atsushi tak pernah mengunjungi kota ini hingga ia pindah ke sini, jadi ia belum pernah mendengar tentang Pandora.
Ketika ia pindah ke sini, aku bersahabat dengan Kazuchika, Naoki, dan Saori. Kazuchika dan Naoki menjadi berteman dengan Atsushi, sehingga iapun bergabung dengan kelompok kami.
Suatu hari, kami berlima sedang mengobrol dan topik tentang Pandora pun mencuat.
“Ibu dan nenekku berasal dari sini. Apakah mereka akan marah jika aku menanyakan tentang Pandora?” tanya Atsushi.
“Apakah kau harus menanyakannya?” kataku, “Orang tuaku bahkan memukulku jika aku membicarakannya.”
“Aku juga. Tapi aku tak mengerti mengapa mereka berbuat begitu.”
Kamipun mulai berandai-andai, tampak seperti apakah bagian dalam rumah tua itu.
“Jadi, belum ada seorangpun yang pernah masuk ke sana?” tanya Atsushi.
“Tidak, belum ada yang pernah. Mungkin satu-satunya orang yang pernah ke sana hanyalah orang-orang dewasa di kota ini.”
“Well, kalau begitu mari kita cari tahu apa yang mereka sembunyikan dari kita!” kata Atsushi dengan mata berbinar.
Kami semua takut dengan hukuman yang akan kami terima jika ketahuan, jadi kami semua awalnya menolak. Namun akhirnya kami setuju setelah dia terus-menerus membujuk kami. Kami memang takut, namun jika boleh jujur, kami semua juga ingin tahu apa yang sebenarnya disembunyikan di sana. Dan ini mungkin satu-satunya kesempatan kami untuk mengetahuinya.
Saori memberitahu tentang rencana ini pada adik perempuannya, Haruka. Karena adiknya itu juga sering berkumpul bersama kami, maka kamipun memutuskan kami berenam akan pergi ke rumah itu pada hari Minggu siang.
Kami tak tahu itu akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidup kami.

TO BE CONTINUED